11 May 2007

Business Survival In the New Economy

Akhir dekade 80-an, sebuah tsunami teknologi chips dan digital menyerbu rumah tangga, keluar dari teritori tradisionalnya di kantor-kantor pemerintah maupun industri militer. Komputer menjadi primadona baru dan menyerbu rumah-rumah di Amerika, Eropa dan Jepang. Komputer bukan lagi merek A atau merek B, puluhan pemain lama ikut tumbuh menjadi raksasa, ratusan merek baru muncul, dan citra komputer sebagai pengganti mesin ketik mulai pudar. Dalam gelombang ekonomi baru, kecepatan berpikir serta kecerdasan sebuah komputer yang fantastis menjadikan peta persaingan perusahaan-perusahaan besar berubah drastis; ada yang bangkrut dalam semalam, ada yang menjadi kaya mendadak.
Pada masa yang hampir bersamaan siaran dan jaringan media televisi global juga membangkitkan gelombang penyadaran baru, bahwa di balik setiap tembok ada peradaban lain, ada banyak peristiwa penting yang terjadi secara simultan. Di lingkungan korporat, informasi berpindah dari kolom liability ke kolom equity, investasi besar-besaran di industri yang bermuara ke akses informasi terjadi di berbagai belahan dunia. Di lingkungan para eksekutif korporat, dampaknya sungguh dahsyat. Everybody knows everybody else, everybody knows everything. Dan mendadak hampir semua orang menjadi ahli dalam sesuatu bidang, semuanya menjadi ‘pemerhati kisah-kisah dunia’. CNN dan Peter Arnett menghadirkan Perang Teluk di ruang keluarga kita, sementara reporter-reporter yang lain mengisahkan langsung dari lokasi kejadian final Piala Dunia sepak bola, tumbangnya tembok Berlin dan rejim-rejim komunis di daratan Eropa atau runtuhnya menara kembar World Trade Center di Manhattan. Seperti tak mau kalah, BBC, NBC dan CBS pun melakukan siaran-siaran paling dahsyat dari lokasi kejadian, langsung, menarik dan otentik.
Pertengahan tahun 90-an, internet secara kolosal melanda media cetak, jauh melintasi batas wilayah Amerika sang pelopor multimedia global. Koran kertas mengalami metamorfosis menjadi referensi elektronik di dunia maya internet, disebar-luaskan secara cuma-cuma kepada siapa saja yang ingin tahu kejadian-kejadian penting di seluruh penjuru dunia. Perusahaan-perusahaan besar mengganti brosur dengan website, bahkan setiap orang bisa men-download data audio-visual dari perusahaan yang ingin diketahuinya.
Masih di periode waktu yang sama, telepon genggam alias ponsel menyerbu kalangan menengah-bawah di berbagai belahan dunia. Di beberapa tempat seperti di Taiwan, Singapura dan bahkan Amerika serta Kanada (saya yakin, Indonesia akan segera menyusul), tarip pulsa ponsel hampir kira-kira semurah tarip pulsa telepon rumah (fixed-line), menjadikan ponsel sarana telekomunikasi yang murah, mudah dibawa dan trendy. Rumitnya administrasi sambungan abonemen dipermudah dengan sistem pra-bayar. Merek-merek ponsel tradisional dikeroyok merek-merek baru yang ingin meraup dolar dari pasar yang sedang panas-panasnya ini. Oligopoli berubah menjadi kekacauan pasar: chaos is the rule! Jadi, dengan dinamika Era Ekonomi Baru yang secepat ini, bagaimana mungkin perusahaan-perusahaan, terutama yang berskala kecil-menengah bisa selamat, survived, dari resiko-resikonya yang tak terukur?

Gejala ‘chaos is the rule”

Di dalam The New Economy, ada satu hal penting yang perlu dipahami oleh para industrialis dan pengusaha, yakni bahwa resiko, ketidak-pastian dan perubahan yang konstan menjadi aturan mainnya, dan bukannya perkecualian. Akses, pengolahan serta pendistribusian informasi menjadi unsur penting di dalamnya. Akan tetapi pada saat yang sama, kesemrawutan lalu lintas informasi di koridor multimedia super-cepat juga bisa dimanipulasikan untuk membalikkan aturan-aturan baku maupun pola-pola konvensional mekanisme ekonomi di berbagai belahan dunia. Dan ironisnya, kesemrawutan itu justru lebih disukai, terutama oleh kalangan yang membenci pemerintahan yang proteksionistik, praktek-praktek monopoli maupun kartel. Di India, para petani bersekutu melawan tengkulak dan pemerintah daerah yang korup dengan berinvestasi di jaringan internet kecepatan tinggi dan mereka bisa memonitor harga-harga komoditi dunia secara langsung dan bahkan bisa langsung menjual ke importir asing yang mau memberikan harga terbaik. Mereka tak mau lagi hidup dikontrol oleh koperasi petani yang lebih cenderung memeras mereka.
Sementara itu kisah-kisah besar yang secara simultan terjadi di seluruh dunia juga menjadi lahan pekerjaan baru bagi kuli tinta. Mereka berlomba menciptakan opini publik dengan analisa-analisa berita termutakhir. Breaking News dan Stop Press menjadi komoditi yang laris manis: kehadirannya dinanti-nantikan oleh dunia korporasi. Tak heran bahwasanya industri telekomunikasi, multimedia dan komputer menjadi kombinasi yang sangat strategis dan berharga. Industri ini dianggap mampu menghadirkan peristiwa ribuan mil jauhnya dalam waktu yang sama, akurat dan dikemas secara menarik. Saat ini infrastruktur informasi korporat juga dibangun di mana-mana oleh hampir sebagian besar perusahaan. Tujuannya hanya satu: membangun akses jaringan informasi seluas-luasnya untuk memperbesar peluang ekonomi serta keunggulan kompetitif mereka. Di Amerika, Eropa dan Kanada, perusahaan-perusahaan besar bahkan mampu memiliki dan mengoperasikan satelitnya sendiri.
Paul Ormerod, penulis masyhur ‘Matinya Ilmu Ekonomi’ pernah menyinggung gejala-gejala di atas. Banyak hal gagal dijelaskan oleh teori-teori ekonomi mutakhir, misalnya trend industri, percepatan penemuan baru di bidang teknologi dan percepatan penetrasinya dalam industri. Dengan revolusi industri telekomunikasi, multimedia dan komputer, dunia seolah diubah menjadi spesies peradaban yang sama sekali baru. Bisnis solusi menjadi bisnis yang paling diminati dalam peradaban baru ini. Efisiensi menjadi demam di kantor-kantor, di pabrik bahkan di rumah-rumah tangga. Dari situlah lahir jargon virtual offices, paperless society, knowledge economy dan faultless system. Toleransi terhadap kesalahan diperkecil, hukumannya diperbesar. Hubungan industrial diukur dari tingkat kontribusi masing-masing pihak, sementara unsur ‘belas kasihan’ dicoba ditiadakan. Penentuan produk-produk baru tidak lagi didasarkan pada apa yang diinginkan konsumen, pabriklah yang menentukan sebaiknya konsumen menyukai produk apa saja. Katalog komparasi harga di internet dijadikan alat manipulasi, karena toh para pabrikan besar sepakat untuk mengatur harga di dalam pasar artifisial. Tampak seperti sebuah dunia yang tertib, teratur dan nyaris sempurna!
Bila kita sepakat untuk menilai bahwa perkembangan teknologi telekomunikasi, multimedia dan komputer mampu menyelesaikan berbagai masalah dengan cepat dan akurat di dalam Era Ekonomi Baru ini, mengapa justru lebih banyak masalah baru timbul olehnya? Mengapa banyak perusahaan bangkrut di usia dini? Mengapa kartel dan oligopoli tumbuh bak rumput liar? Mengapa para eksekutif berpindah-pindah tempat kerja dengan berbagai ketidak-nyamanan? Mengapa birokrasi perkantoran menjadi makin rumit? Mengapa pula garis komando korporat jadi makin panjang dan berbelit? Ketika pertanyaan-pertanyaan itu saya ajukan dalam sebuah forum dialog bisnis di Singapore beberapa waktu lalu, seorang panelis menanggapinya dengan enteng. Katanya, tak ada yang baru dalam The New Economy. A new economy with an old attitude, ... just the same banana! (Majalah WARTA EKONOMI Ja. 2007)

No comments: