11 May 2007

Efficiency Redifined


Saat launching pesawat Boeing Next Generation 737-900ER (ER: Extended Range) dilakukan di Washington State dengan Lion Air dari Indonesia menjadi Launching Customer, di berbagai sudut hangar hingga rampway yang bersebelahan dengan danau Washington terlihat banner-banner raksasa bergambar seri terbaru Boeing 737-900ER dengan mottonya: Efficiency Redefined. Boeing seri 737-900ER ini diklaim oleh pembuatnya terbang lebih jauh dan lebih irit serta dapat memuat lebih banyak penumpang. Kampanye mendefinisikan ulang makna ‘efisiensi’ rupanya berhasil. Hingga Juni 2006 telah tercatat pesanan tak kurang dari 3300 unit pesawat seri Boeing Next Generation 737 series, sebuah jumlah yang fantastis.

Dari Washington State mari kita menuju Indonesia, negeri yang hiruk pikuk dengan jargon-jargon efisiensi, namun sebenarnya hanya sedikit saja yang yang mengerti betul apa maksudnya, apanya yang di-efisienkan, dan mengapa harus begitu.

Ambil ilustrasi ini. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir city cars menyerbu jalanan Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Atas nama efisiensi dan mengikuti trend, para industrialis mobil mengeluarkan produk mobil ber-CC kecil yang hemat bahan bakar, mudah dapat tempat parkir, namun tetap bertenaga dan lincah. Dengan city-car ini efisiensi di bahan bakar dan waktu jelajah tetap terjaga, sementara karena dibuat massal spare parts-nya jadi mudah didapatkan dan harganya relatif murah, layanan purna jual terdapat dimana-mana. Karena murah jadi mudah jual.

Contoh lain terdapat pada industri elektronika gadgets seperti ponsel, kamera digital, PDA maupun komputer jinjing. Kini dengan mengeluarkan uang sebesar 3 sampai 4 juta-an rupiah, seorang eksekutif kelas menengah sudah bisa memiliki ponsel, kamera digital, PDA dan pengolah dokumen dalam genggaman telapak tangan, kesemuanya hanya dalam satu benda yang bernama Smart-Phone. Bahkan ada beberapa model yang memiliki lampu senter serta fasilitas penyimpanan data semacam flash-disk. Penulis tak akan terkejut bila dikemudian hari sebuah Smart Phone mampu menggantikan sebuah Universal Remote Control yang bisa mengunci pintu rumah, menyalakan TV dan mesin mobil, bahkan dipakai untuk voting di Pemilu Langsung.

Contoh lain lagi terdapat dari produk house-hold consumables seperti shampo. Saat ini daripada repot-repot beli shampo dan conditioner dalam kemasan terpisah, pabrik-pabrik toiletries sudah menakarkan untuk kita dengan ukuran tepat shampo + conditioner 2-in-1 dalam satu botol kemasan. Di mini market yang jumlahnya ribuan, terdapat kopi + gula + susu atau creamer dalam satu sachet kemasan, dan ini tentu memudahkan orang yang ingin menikmati kopi kesukaannya tanpa harus takar-menakar terlebih dahulu.

Berdasarkan trend-trend yang disebutkan tadi, maka efisiensi bisa berarti 1) instan (yang dihemat adalah waktunya), 2) lengkap fungsi (hemat tenaga untuk mendapatkan fungsi-fungsi lain yang ‘biasanya’ tidak termasuk dalam produk itu), 3) peningkatan nilai dengan ongkos yang sama (penghematan finansial), 4) bisa juga berarti ‘sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui’.

Siapa sih yang paling berkepentingan ‘mendefinisikan ulang’ efisiensi? Apakah konsumen yang dengan sadar dan sengaja meminta lebih dan lebih banyak lagi dari produsen? Ataukan karena persaingan usaha yang semakin brutal sehingga para produsen memanjakan konsumen secara berlebih? Dalam hubungan kausalitas, selalu ada tindakan satu pihak yang mendahului tindakan pihak lain. Dalam hal ini, kalau tidak konsumen, ya produsen. Dengan demikian dalam dunia korporat, efisiensi harus di-redefinisikan dari waktu ke waktu, lepas dari apakah itu untuk kepentingan konsumen atau produsen. Semakin efisien, peluang untuk bertahan hidup makin besar. Economize, or perish!

Ada satu pengalaman menarik. Baru-baru ini saya membeli laptop dengan merek yang cukup ternama di sebuah raksasa ritel di Jakarta. Dari harga banderol pabrik yang sudah saya observasi, harga promosi laptop tersebut terbilang amboi, selisihnya sekitar satu jutaan rupiah. Dengan pertimbangan 3 hal, yakni harga promosi, merek ternama, dan kelengkapan feature teknis, hari itu juga saya langsung putuskan untuk beli. Seminggu kemudian dalam sebuah pameran komputer akbar di bilangan Senayan, laptop dengan merek dan model yang sama persis dijual dengan harga sangat miring, dengan selisih harga lebih dari sejuta rupiah dari harga yang saya bayarkan seminggu sebelumnya, dan itu masih ditambah dengan berbagai aksesorisnya.

Tentu saja saya jengkel. Konspirasi macam apa yang bisa membuat harga laptop turun 15%-20% dalam kurun waktu seminggu dan pabriknya tetap untung besar? Namun setelah saya pikirkan kembali dan mencoba berdiri dari sudut pandang produsen, pemberian diskon gila-gilaan dengan volume kuantitas yang sangat besar juga bisa berarti efisiensi. Dalam kondisi normal, laptop dengan merek dan model tersebut mungkin hanya mampu terjual paling banyak 2 hingga 5 buah seminggu dari satu outlet. Dengan diskon besar-besaran, satu outlet bisa menjual hingga seratus unit dalam waktu seminggu, dan dalam sebuah pameran, jumlah yang sama akan dilahap dalam tiga hari saja!


Jadi, apa definisi termutakhir dari kata “efisien”? Apakah melulu soal waktu, biaya, energi, atau kelengkapan fungsi? Bagaimana kaitannya dengan efektivitas? Hasil guna? Apakah efisiensi sekarang harus dipisahkan dari efektivitas? Apakah saat ini kalau sudah efisien lalu otomatis berarti efektif? Seorang eksekutif SDM yang saya temui dalam sebuah training mengatakan kepada saya demikian, “Kalau kita mau bicara efisiensi yang sempurna, kecuali divisi keuangan dan accounting, lebih baik semuanya di-outsource saja. Investasi paling efisien adalah pada sistem. Bila mekanisme dalam sistem baik, unit-unit yang lain tinggal mengikuti dan patuh pada sistem. Kita bahkan tak perlu memiliki unit-unit itu secara langsung. Outsource saja!” Nah lo! (Majalah WARTA EKONOMI Oct. 2006)

No comments: