11 May 2007

Berita Kepada Konsumen

Dalam dunia pemasaran, ada suatu tehnik atau seni menginterpretasikan pesan. Mengapa tehnik ini diperlukan? Logikanya, hanya pesan yang sudah berhasil di-interpretasikan-lah yang bisa dengan tepat disampaikan atau disalurkan. Jadi, menyampaikan pesan bukan sekedar menduplikasi informasi apa adanya. Dalam banyak hal – dan disinilah letak seninya – pesan yang berupa informasi ini diubah menjadi sesuatu yang lebih ‘membumi’, yakni berupa rekomendasi atau peringatan dini.

Mari kita lihat bersama ilustrasi ini: sebuah SMS dikirim dari lantai bursa di WallStreet, pesannya pendek – “Saham ENRON rontok per jam 10.12 pagi ini”. Pesan pendek SMS yang nilai pengirimannya setara dengan 300 rupiah pagi itu memicu kekelaman WallStreet hari itu. SMS itu diteruskan ke berbagai penjuru dunia, ke ribuan investor saham, ke kantor-kantor berita, dan akhirnya tak hanya WallStreet yang berubah wajah. London, Frankfurt, Tokyo, Sao Paulo, Hong Kong dan Johanesberg menyusul kepanikan Manhattan Selatan. Semuanya telah membaca pesan pendek yang sama: “Saham ENRON rontok per jam 10.12 pagi ini”. Interpretasinya: Jual saham ENRON sekarang juga, berapapun harganya!

Kita bisa menyampaikan pesan kepada siapa saja dengan berbagai cara. Pertanyaannya adalah, efisienkah cara itu? Dan juga apakah pesan itu di-interpretasikan secara benar sesuai harapan kita? Ketika saya masih tinggal di Amerika dan Kanada, saya belajar menilai efisiensi dan efektifitas penyampaian pesan melalui analogi kisah para koboi di The Wild-Wild West. Sejarah kaum koboi ratusan tahun lalu menggambarkan mereka memakai pistol revolver berpeluru enam biji sebagai senjata saat berkelahi. Dengan revolver berpeluru enam biji itu bagaimana mereka harus putar otak dalam menghadapi sepuluh bandit yang sama-sama bersenjata. Akurasi, fokus dan kecerdikan menjadi penentu kemenangan sang koboi. Bahkan bila beruntung, dia cukup menembakkan satu atau dua peluru saja untuk membunuh seorang bandit, dan membuat yang lainnya lari ketakutan. Membunuh satu, menteror yang lain. Ini yang saya sebut “pesan yang sangat efisien”. Akurat dan cepat.

Dengan analogi serupa, saya menggambarkan ‘koboi-koboi’ jaman sekarang berbeda. Mungkin karena malas, mereka lebih suka memakai senapan otomatis berpeluru curah yang sekali tembak akan menyemburkan puluhan peluru per-detik, padahal musuhnya cuma seorang. Hasilnya, sang musuh memang mati, tragis dan mengenaskan dengan puluhan lubang di dada, perut, paha, kepala, lengan, bahu, dan pantatnya. Seandainya saja ia berkonsentrasi pada kepala atau jantung sang bandit, dia mungkin cuma perlu satu peluru untuk melumpuhkannya. Inilah seni menyampaikan pesan yang unik dan efisien, tanpa harus menghambur-hamburkan uang terlalu banyak. Memang ada beberapa kasus di mana memakai ‘senapan peluru curah’ menjadi sangat efektif, tapi itupun harus memakai perhitungan serta perencanaan yang matang.

Penulis pernah mengobrol dengan seorang agen properti yang memasarkan jasanya via sms. Dia menargetkan pengiriman ke tiga puluh nomor handphone per-hari, atau rata-rata enam ratus nomor per bulan. Artinya dalam perhitungan logis, dia harus menyisihkan uang kira-kira setara dengan 180 ribu rupiah per-bulan untuk biaya kirim sms. Menurutnya, ini adalah pilihan yang paling efektif dan efisien, karena setiap bulan dia bisa mendapatkan minimal satu deal bisnis yang nilainya akan meniadakan arti 180 ribu rupiah tadi. Bisa dibayangkan bila dia harus membuat brosur sebanyak 600 lembar yang biaya cetaknya tak murah, lalu masih harus berdiri membagi-bagikan brosur itu ke setiap orang yang dijumpainya. Pembuangan energi, waktu dan dana yang percuma, berkesan kurang profesional, dan tak terfokus. Perhitungannya adalah, dari 600 orang, 10% akan merespon dan mungkin 5% membuat janji bertemu untuk diberi presentasi. Dan, sim salabim! Inilah 5% yang kita tunggu-tunggu itu! Sebenarnya inilah 5% yang perlu kita buatkan print-out presentasi kita, melalui mana produk atau jasa kita akan dipasarkan.

Ketika saya tanya apa isi SMS-nya, dia lalu mengirim contoh SMS ‘peluru curah’-nya yang sedikit agak panjang ke HP saya. Pesannya:

“Beautifull house on sale. 620/ 230, 4 Bedrooms, 2 shower rooms, 1 garage, unlimited refill of peacefull mind. East Campden, Denver, CO. Call. Xxxx…” (teks aslinya banyak memakai akronim).

Berdasarkan pengalamannya, beberapa klien potensial yang menghubunginya justru tertarik dengan kata-kata terakhir, “….unlimited refill of peacefull mind”. Mereka tak lagi tertarik untuk menanyakan berapa ukuran tiap kamar, apa warna wallpapernya, bahkan lantainya terbuat dari apa. Mereka hanya ingin tahu, apa sih maksudnya “unlimited refill of peacefull mind” ? Ketertarikan inilah yang membuat banyak klien potensialnya setuju untuk melihat sendiri properti yang ditawarkannya. Inilah gerbang pertama untuk deal bisnis bernilai ratusan ribu dolar…. Selanjutnya, kata agen properti itu, gerbang kedua akan dibuka sendiri oleh sang calon pembeli yang kagum akan rasa humor kita, ketulusan dan kejujuran kita (sincerity), serta jaminan (assurance) bahwa mereka sedang dihadapkan pada tawaran investasi yang tak akan bikin pusing kepala.

Hingga saat ini masih banyak pemasar yang berkutat di permasalahan metodologi penyampaian pesan ini. Yang menjadi pertanyaan adalah: pesan apa yang ingin kita sampaikan ketika kita memasarkan produk kita? Ini bukan sekedar urusan anggaran dan metodologi pemasaran. Bila kita mengerti betul nilai dan karakter pesan yang akan kita teruskan ke konsumen, barangkali kita tak akan terlalu lama berkutat ke hal-hal metodologisnya. Kita bisa membisikkan, meneriakkan, menulis atau melagukan kata-kata “kecapku paling enak dan nomor satu”, tetapi tanpa menterjemahkan secara lebih sederhana dalam bahasa konsumen mengapa mereka harus sepakat bahwa kecap kita memang paling enak dan nomor satu, upaya kita hanya akan sia-sia.

Penulis melihat iklan-iklan TV di Amerika jauh lebih kasar lagi, karena secara terang-terangan beberapa produk dikonfrontasikan dengan produk sejenis buatan pesaingnya. Bahasa iklan yang konfrontatif seperti itu bisa diterjemahkan konsumen sebagai pesan dengan tabiat tak santun. Di Amerika, itu sangat mempengaruhi perilaku konsumen dalam memutuskan merek apa yang akan mereka beli. Anggota-anggota PETA (kelompok pembela hak-hak binatang di Amerika) akan mati-matian menjatuhkan citra pabrik kosmetik yang memakai binatang sebagai objek eksperimen di laboratorium. Sama halnya dengan kelompok pecinta lingkungan Green Peace yang pernah menggalang kampanye besar-besaran anti Exxon yang insiden kecelakaan kapalnya – Exxon Valdez - mencemari sebagian besar perairan di Alaska. Kelompok-kelompok kepentingan seperti ini kaya raya, punya pengaruh di masyarakat, dan jangan lupa, suara mereka di dengar di Kongres. Jadi bila ingin menyampaikan pesan yang bisa diterjemahkan dengan baik sesuai keinginan kita, pakailah bahasa yang santun pada konsumen, bahkan bila perlu sedikit dibumbui humor-humor menggelitik. Siapa bilang konsumen tak punya rasa humor? Kalau mereka semua kaya raya, mereka akan borong semua humor yang anda jual!

Pesan yang sama atas produk yang juga sama bisa diterjemahkan berbeda pada komunitas dengan budaya dan kebiasaan berbeda. Kenyamanan bantal sintetik yang laku terjual di Singapura belum tentu bisa dijual di Indonesia. Kehangatan jaket musim dingin dari bulu angsa di Skandinavia belum tentu bisa dijual di Canada, atau kelezatan gudeg Yogya yang renyah dan manis belum tentu diterima di Makasar atau Bandung. Pahami produknya, pahami calon konsumennya, pastikan kita dapatkan momentumnya, pelajari isu-isu yang beredar pada saat itu, lihat juga kita punya apa untuk dipamerkan, lalu marilah kita duduk dan mulai bicarakan: berita besar apa yang ingin kita siarkan kepada konsumen? (Majalah WARTA EKONOMI Sep. 2006)

No comments: